MATERI Tradisi dan Budaya Jawa
Bentuk-bentuk Tradisi
Budaya Jawa
1. Slametan.
Slametan berasal dari kata slamet yang berarti selamat, bahagia, sentausa.
Selamat dapat dimaknai sebagai keadaan lepas dari insiden-insiden yang tidak
dikehendaki. Sementara itu, menurut Clifford Geertz slamet berarti gak ana apa-apa (tidak ada apa-apa),
atau lebih tepat “tidak akan terjadi apa-apa” (pada siapa pun).
Konsep
tersebut dimanifestasikan melalui praktik-praktik slametan. Slametan adalah kegiatan-kegiatan komunal Jawa yang
biasanya digambarkan oleh ethnografer sebagai pesta ritual, baik upacara di rumah
maupun di desa, bahkan memiliki skala yang lebih besar, mulai dari tedak siti(upacara menginjak tanah yang pertama), mantu (perkawinan), hingga upacara tahunan untuk
memperingati ruh penjaga. Dengan demikian, slametan merupakan memiliki tujuan
akan penegasan dan penguatan kembali tatanan kultur umum. Di samping itu juga
untuk menahan kekuatan kekacauan (talak
balak).
Slametan dalam skala kecil yang dilakukan oleh
individu atau keluarga tampak ketika mereka mulai membangun rumah,
pindahan, ngupati (slametan
mendoakan calon bayi yang masih umur empat bulan dalam kandungan), mithoni (slametan
untuk calon bayi yang masih umur tujuh bulan dalam kandungan), puputan (lepas
pusar), dan masih banyak lainnya. Skala yang lebih besar dapat dijumpai
praktik-praktik seperti bersih desa, resik kubur, dan lainnya. Menurut Pamberton praktik
yang sarat dengan makna slametan dengan sajen (sesaji)
tersebut dilaksanakan dengan maksud agar dapat membangun kembali hubungan
dengan roh, terutama dengan ruh penunggu desa (dhanyang). Dengan kata
lain, bersih desa bertujuan untuk menjalin hubungan damai dengan dunia ruh
setempat.
Dapat dipahami bahwa slametan seringkali merupakan pesta
komunal sebagaimana disebutkan pada slametan dalam skala besar. Hanya saja,
slametan bentuk ini (skala) besar justru tidak tampak nilai kebersamaannya,
tetapi yang menonjol adalah pesta ritual pembagian “buah tangan”, jajan pasar,
dalam bentuk makanan. Yang menarik adalah ketika warga desa mendatangi slametan
bukanlah kemungkinan untuk makan bersama —sebagai wujud kebersamaan—, tetapi
justru keinginan untuk membawa pulang makanan bertuah (berkat). Slametan
dimaknai sebagai sebuah konsep dan ritual yang selanjutnya dimaknai dalam bingkai
yang lebih luas, yakni penciptaan tata, tertib, aman (selamat), dan wilujeng
(selamat). Bahkan, Orde Baru —yang syarat dengan tradisi Jawa—,
menginterpretasikan konsep ini dengan menciptakan satuan-satuan pengamanan
dengan maksud menciptakan ketertiban, in order condition, dengan dalih
keselamatan bangsa.
Praktik Ritual
Slametan: Beberapa Kasus
Dalam makalah ini akan ditampilkan beragam ritual
slametan, yang menurut penulis merupakan representasi dari slametan yang
skupnya kecil (individual) dan slametan kolosal (melibatkan orang banyak). Hal
ini penting karena jenis ritual slametan dalam tradisi Jawa sangat banyak.
a. Ngupati dan
Mithoni
Dalam tradisi Jawa, terdapat slametan yang bernama
ngupati atau kupatan. Ngupati berasal dari kata kupat, yakni nama makanan yang
terbuat dari beras dengan daun kelapa (janur) sebagai pembungkus. Slametan ini
biasanya dilakukan di saat usia kehamilan sekitar 4 (empat) bulan. Tradisi
ngupati adalah slametan yang bertujuan untuk memohon kepada Tuhan, agar anak
yang masih dalam kandungan ibu tersebut memiliki kualitas baik, sesuai dengan
harapan orangtua. Slametan ini biasanya menggunakan kupat sebagai hidangan
utama. Dalam slametan
ini, penyelenggara (tuan rumah) mengundang tetangga dekat, sekitar radius 50
meter untuk berdoa kepada Tuhan yang kemudian dilanjutkan dengan menyuguhkan
kupat dan berbagai variasi lauk dan sayur sebagai pelengkap hidangan.
Tradisi serupa dapat dijumpai dengan istilah mithoni.
Mithoni berasal dari kata pitu (tujuh). Sebuah ritual hajat slametan pada saat
usia kehamilan tujuh bulan. Dalam acara tersebut, disiapkansebuah kelapa gading
yang digambari wajah dewa Kamajaya dan Dewi Kamaratih. Maksud dan tujuannya
agar bayi memiliki wajah seperti Dewa Kamajaya jika laki-laki, dan seperti Dewi
Kamaratih jika perempuan. Di samping kelapa gading, dalam slametan tersebut
disajikan kluban/ kuluban/uraban/ gudangan (campuan antara taoge, kacang
panjang, bayam, wortel, kelapa parut yang dibumbui), lauk-pauk (ikan, tempe,
tahun), dan rujak buah. Kepercayaan mitologi dari sebagian masyarakat Jawa, di
saat ibu (yang mengandung bayi yang di-slameti) makan rujak, jika dia merasa
pedas atau kepedasan, maka besar kemungkinan bayi yang dikandung adalah
laki-laki, demikian juga sebaliknya. Dalam acara mithoni, ibu tertua mulai memandikan
ibu yang mengandung (mithoni) dengan air kembang (bunga) setaman (air yang
ditaburi bunga mawar, melati, kenanga, dan kanthil). Proses ini disebut
tingkeban, di mana ibu yang mengandung (mithoni) berganti tujuh kain (baju).
Setelah selesai, dilanjutkan dengan berdoa dan makan nasi dengan urap dan
rujak. Slametan ini sebagaimana disebut di atas sebagai upaya untuk memohon
kepada Tuhan agar anak yang dikandung nantinya menjadi anak yang dapat mikul
duwur mendhem jero (mengangkat derajat) orangtua dan keluarga.
b. Brokohan
Saat kelahiran dibeberapa
tempat di daerah Jawa diadakan upacara adat brokohan dan sudah menjadi tradisi
turun temurun yang masih dilestarikan masyarakat. Brokohan adalah salah satu
upacara adat Jawa untuk menyambut kelahiran bayi. Upacara adat ini mempunyai
makna sebagai ungkapan syukur dan sukacita karena kelahiran itu selamat.
Upacara adat seperti ini merupakan warisan kebudayaan nenek moyang khususnya
pada zaman Hindu-Budha, sejak masuknya Islam ke Jawa tradisi ini diubah namanya
oleh para Wali menjadi brokohan yang di ambil dari bahasa arab ”barokah” yang
berarti mengharap berkah dari Tuhan. Upacara brokohan ini memiliki berbagai
tujuan yaitu :
1. Mensyukuri karunia Allah
2. Memohon agar bayinya mendapat banyak karunia Allah
3. Terima kasih kerpada seluruh famili dan kerabat
Upacara brokohan diselenggarakan pada sore hari setelah kelahiran
anak dengan mengadakan selamatan atau kenduri yang dihadiri oleh dukun
perempuan (dukun beranak), para kerabat, dan ibu-ibu tetangga terdekat. Setelah
kenduri selesai, para hadirin segera membawa pulang sesajian yang telah
didoakan. Sesajian dikemas dalam besek dan encek, yaitu suatu wadah yang
terbuat dari sayatan bambu yang di anyam.
Sesajian serta maknanya yang dipersiapkan
pada upacara brokohan, antara lain:
a.
Dhawet cendol gula jawa lambang
kesegaran dan kelancaran usaha hidup dan kemanisan hidup dan syukur atas
kelahiran bayi.
b.
Jenang abang dan putih lambang
kemanunggalan ayah ibunya.
c.
Sekul ambeng: nasi dicampur
lauk pauk jeroan atau iwak sakiris (daging seiris), pecel dicampur lauk ayam
matang lambang kekuatan besar lahir batin.
d.
Telur ayam kampung mentah
sebanyak jumlah neptu lahir lambang pasaran lahir.
e.
Kembang setaman, mengandung
makna kesucian.
f.
Kelapa melambangkan ketahanan
fisik.
g.
Ingkung melambangkan si bayi
yang baru lahir.
h.
Beras melambangkan kemakmuran
dan kecukupan pangan
i.
Jajanan pasar melambangkan
kekayaan.
c. Mantenan
Dalam tradisi Jawa, mantenan atau pernikahan merupakan
peristiwa penting, selain kelahiran dan kematian, sehingga ada upacara khusus
untuk menyambutnya. Garis besar adat pernikahan Jawa memang sama, misalnya adanya lamaran,
siraman, midodareni, panggih, dan sebagainya.
a . Tepangan dan tembung
Jaman dulu, pasangan suami
isteri dijodohkan oleh orang tuanya; sekarang, cara itu sudah tidak dipakai
lagi. Remaja yang telah dewasa, berkenalan, saling mengungkap perasaan, lalu
berpacaran (‘jadian’), dalam arti ingin menikah. Untuk menuju jenjang pernikahan,
orang tua harus terlibat. Remaja pria, sebaiknya menyampaikan keinginan untuk
menikah pada orang tua remaja wanita (dan orang tuanya sendiri, tentu saja),
sehingga orang tua remaja wanita merasa dihormati dan tenang jika anaknya,
misalnya, diajak pergi.
Tahap berikutnya, adalah orang tua remaja pria tepangan (berkenalan) dengan orang tua
remaja wanita; dan menyampaikan maksud hati anaknya untukngembun-embun enjing ajejawah sonten (mengharap embun turun di pagi hari, dan hujan turun di sore
hari), atau mengharap sesuatu yang menyenangkan, yaitu ingin menikahi
anak orang tua remaja wanita.
Ukara “ngembun-embun enjing ajejawah sonten” juga merupakan wangsalan. Dalam Bahasa Jawa nama embun
pagi adalah awun-awun , hujan gerimis sore hari disebut rerabi ; maksudnyanyuwun rabi atau minta menikah.
Setelah kedua keluarga sepakat melangsungkan saat hajat
pernikahan, dilakukan acara puncak, yaitu mantenan.
a) Pasang Tarub dan blekketepe
Sehari-dua hari sebelum upacara pernikahan, mulai dipasang tarub atau terobdi rumah orang tua wanita. Tarub berarti 1) kajang (anyaman bambu) yang dipasang
sebagai atap, 2) berkumpul. Jadi, pasang tarub berarti memasang kajang tempat tamu berkumpul. Sekarang, yang dipakai bukan kajang, tetapi tratag dari terpal (kain tebal tahan
air). Tarub merupakan keratabasa
‘ditata dimen murub ’(ditata agar menyala),
maksudnya diatur agar menerangi lingkungan. Dalam Bahasa Arab ta’arub berarti pengumuman atau tanda
akan ada hajat. .
Selain itu juga dipasang blekketepe . Blekketepe adalah anyaman daun kelapa tua
(bukan janur). Pelepah daun kelapa dibelah dua membujur, lalu dianyam, dipasang
di atas pintu depan. Ini menandakan, bahwa keluarga itu akan mempunya hajat
mantu.. Pada kiri kanan pintu masuk tarub dipasang tuwuhan(tumbuhan). Tuwuhan terdiri
atas
1. Pisang
Raja suluh
Dipakai Pisang Raja suluh (matang) lengkap dengan batang, daun dan setandan buahnya yang matang, besar-besar, jumlah sisirnya genap, sebanyak
2 batang, dipasang di kiri kanan pintu masuk tarub. Pisang raja mengandung harapan agar pasangan yang akan menikah
kelak akan mulia dan terhormat seperti raja, dan mempunyai sifat hambeg para marta , mengutamakan kepentingan umum
daripada kepentingan pribadi. Dipilih
pisang yang matang, agar pasangan yang akan menikah memiliki pemikiran dewasa
2. Tebu wulung, dua batang
Tebu ini berwarna wulung (ungu), dan dipakai batang tebu utuh, lengkap dengan daunnya. Tembung (kata) tebu wulung merupakan kerata basa ’Ante ping kalbu wu juding lelung an’ ; maksudnya, pasangan baru itu sudah mantap (antep ) hati (kalbu ) untuk mewujudkan (wujud ) perjalanan (lunga ) menuju kehidupan yang baru.
3. Cengkir
Gading
Cengkir adalah buah kelapa muda, di dalamnya berisi air kelapa yang bersih
Ini lambang kesucian dan hasrat membantu sesama.
4. Ron randu lan pari sewuli
Ron randu adalah
daun randu, sedang pari sewuli adalah padi seikat. Randu
melambangkan sandang (pakaian), dan par i melambangkan pangan(makanan).Ini
mengandung doa agar pasangan baru itu selalu tercukupi sandang dan
pangannya
5. Ron-ronan
Terdiri
atas berbagai dedaunan, antara lain ron salam, maja, alang-alang ,apa-apa, kara (kacang-kacangan), kluwih, dadap srep , ringin Daun apa-apatermasuk kacang-kacangan,
anak daunnya tiga. Di daerah Pasundan disebuthahapaan , di Madura disebut pok-kepokan. Daun salam , maja , alang-alang , danapa-apa melambangkan “slam et aja ana alang an apa-apa”, atau ‘selalu selamat, tidak ada
halangan apa pun’ selama
kehidupan pasangan baru itu.
Dipakai
juga daun kara dengan harapan tidak ada sikara (cobaan), sukreta(siksaan),
atau perkara (kesulitan) yang menghalangi kehidupan. Daun kluwih , melambangkan harapan agar pasangan baru itu selalu diberi kaluwihan(kelebihan),
baik harta, benda, maupun ilmu, untuk membantu sesama.
Daun dadap srep ; mengandung doa agar pasangan baru diberi sumerep(mengetahui,
melihat, pengetahuan) yang baru dan manfaat. Dadap srep juga mengandung arti permohonan agar keluarga pasangan baru selalu asrep atau sejukhidupnya. Ron ringin (beringin),
mengandung doa agar semua pepengin(keinginan)-nya
terkabul. Tajuk daun beringin yang rimbun melambangkan pengayoman
6. Janur
Janur adalah
daun kelapa muda Keratabasa janur adalah “seja - tine
(sungguh-sungguh) nur (cahaya,
sinar)”. Ini berarti, pasangan baru
itu, nantinya benar-benar memancarkan cahaya, memancarkan aura
b) Siraman
Siraman berasal dari kata siram yang
berarti mandi, biasanya siraman dilakukan di kamar mandi,
tetapi jika terlalu sempit dapat dilakukan di tempat lain, dengan persiapan
seperlunya.
1. Pecah kendi
Setelah siraman, dilakukan upacara pecah kendi. Ibu pengantin putri (atau juru
rias) memecahkan kendi yang berisi toya perwitosari sambil berkata “ Niat ingsun ora mecah kendi, nanging mecah pamore anakku… (nama
penganten putri)”.Pecah pamor-e berarti sudah dewasa. Ini melambangkan, ibu sudah siap melepaskan
anak gadisnya yang sudah dewasa.
2. Pangkas dan tanem rikma
Rambut (rikma ) penganten dipotong (pangkas ) sedikit, lalu ditanam di
belakang rumah. Ini berarti penganten putri tetap menjadi bagian dari keluarga
besar orang tuanya, sekali pun telah berkeluarga sendiri
3. Gendongan
Kedua orangtua pengantin
menggendong anak mereka untuk terakhir kali, dari tempat siraman ke kamar
penganten, melambangkan sudah ngentaskeanaknya
4. Midodareni
Midodareni berlangsung di kamar
penganten putri, pada malam hari sebelum panggih. Acara midodareni terdiri atas tantingan , dan turunnya kembar mayang. Sementara itu, di luar,
berlangsung acara srah-srahan,
jonggolan danwilujengan ini adalah
bentuk permohonan keselamatan
5. Pasrah sanggan
Pasrah sanggan atau srah-srahan berasal dari kata srah atau serah dan sanggan. Srah-srahan berarti menyerahkan. Sanggan berasal dari kata sangga , yang berarti 1) melipat
tangan, 2) menjalani (misalnya hukuman), 3) membiayai; di sini, sanggatukon , dari kata tuku (membeli). Kata tukon di sini, tidak dalam arti
membeli, tetapi lebih bersifat ikut membiayai upacara. Uba rampe pasrah sanggan ini diserahkan
oleh keluarga pihak kakung pada keluarga pihak putri. Uba rampe srah-srahan terdiri atas:
a. Kalpika atau cincin, kalau bisa yang
penampangnya berbentuk lingkaran (tidaknyigar penjalin , atau setengah lingkaran), dan
lingkaran cincinnya utuh, tidak terpotong. Ini melambangkan kasih sayang yang
abadi, tidak pernah putus
b. Ageman putri sakpengadeg atau pakaian wanita lengkap,
seperti kebaya,nyamping batik, sepatu, selop, dan
sebagainya Ini berarti, suami akan menutupi kekurangan, kelemahan atau aib
isterinya
c. Rerenggan pelik-pelik terdiri atas perhiasan, seperti
gelang, kalung, cincin, anting-anting Ini melambangkan, bahwa suami akan
menjaga, melindungi, dan merawat cahaya, dan keindahan istrinya
d. Jadah, wajik, lapis abang putih melambangkan sumsum yang merah
dan tulang yang putih, yang saling terikat / kakung dan putri sudah menjadi loro-loroning atunggal
e. Woh-wohan melambangkan kakung dan putri
menginginkan adanya wohing
ngurip , atau buah kehidupan, yaitu kebahagiaan dunia
akhirat setelah menikah
f. Suruh temu rose-e lan pisang raja Sirih ini melambangkan,
bahwa pasangan itu sudah bertemu atau menyatu hatinya. Pisang raja,
mengandung makna, nantinya pasangan itu menjaga keluhuran dan kesucian budi dan
martabat mereka seperti raja
g. Cengkir Gading melambangkan kesetiaan
h. Urip-urip berupa sepasang ayam, atau bebek
atau angsa sebagai lambang pasangan baru itu akan bertanggung jawab atas
kehidupan keluarganya
c) Pasrah tampi penganten kakung
Pasrah berarti menyerahkan, sedang tampi berarti menerima. Keluarga calon
penganten kakung menyerahkan calon penganten kakung pada keluarga calon
penganten putri untuk di-ijab kabul-kan. Secara administrasi, status calon
penganten kakung harus satu domisili dengan calon penganten putri, sehingga
calon penganten kakung harus pindah sementara ke domisili calon penganten putri
d) Ijab kabul
Nikah adalah persetujuan pria dan wanita untuk bersuami-isteri. Ijab adalah kalimat menikahkan yang
diucapkan oleh fihak wali (wakil) penganten putri, kabulberarti ucapan tanda persetujuan dinikahkan, yang dilakukan oleh
penganten kakung. Jadi, ijab kabul adalah proses menikahkan oleh
wali penganten putri, yang disetujui oleh penganten kakung. Akad adalah perjanjian, jadi akad nikahberarti perjanjian untuk menikah
Setelah acara agama ini, dilakukan acara
adat, yaitu panggih . Setelah ijab kabul, orang tua penganten kakung, nyanggrah (dari kata sanggrah , istirahat) di rumah kerabat atau tetangga yang dekat. Selama
panggih, orang tua penganten kakung (besan), tidak boleh menyaksikan. Tetapi,
sekarang, banyak yang melanggar adat ini. Nantinya, pada acara mertuwi. orang tua penganten kakung akan dijemput untuk mengikuti
acara selanjutnya
e) Liru kembar mayang
Setelah ijab kabul, yang merupakan acara
agama, diteruskan dengan acara adat Jawa. Rombongan penganten kakung memasuki
rumah penganten putri dan rombongan penganten kakung diterima oleh keluarga
penganten putri,
Panggih diawali dengan liru
kembar mayang . Liru berarti menukar. Penganten kakung beserta rombongan datang membawa
sepasang kembar
mayang kakungyang dibawa oleh dua satriya kembar .
Penganten putri beserta rombongan juga membawa sepasang kembar
mayang putri
yang dibawa oleh dua putri domas . Ke empat remaja itu saling menukarkan kembar mayang . Ini merupakan lambang, bahwa keluarga kakung menyatu dengan keluarga putri dan sebaliknya. Nantinya,kembar mayang putri dibuang atau dilarung, sedang kembar mayang kakung tetap mengikuti upacara, diletakkan di samping pelaminan. Ini
melambangkan, bahwa kakung akan menjadi imam atau pemimpin keluarga.
f) Panggih
Setelah ijab kabul , dan liru kembar mayang , acara berikutnya adalah panggih atautemu atau bertemu. Panggih adalah tanda, bahwa penganten kakung dan putri sudah resmi menjadi garwa atau suami istri sah secara adat Jawa.
g) Ngunduh mantu
Hakekatnya, mantenan adalah tanggung jawab keluarga putri.
Kadang-kadang, pihak kakung (apalagi jika tempat tinggal kedua orang tua
berjauhan), ingin mengadakan mantenan juga ; yang disebut ngunduh manten atau ngunduh mantu .Ngunduh berarti mengunduh, atau memetik. Ada juga yang menyebut boyong manten . Tidak ada acara spesifik
dalam ngunduh mantu, penganten boleh berpakaian adat Jawa atau model barat
d. Kematian
Berkenaan dengan kematian ada
macam-macam tradisi Jawa yang mempercayai eksistensi roh setelah berpisah dari
raga, yang ditujukan sebagai penghormatan terakhir :
1) Brobosan, Upacara brobosan
diselenggarakan dihalaman rumah orang yang meninggal, sebelum dimakamkan, dan
dipimpin oleh anggota keluarga yang paling tua. Upacara tradisional ini
merupakan pengejawantahan sesanti (pepetah) “Mikul dhuwur mendhem jero” ( menjunjung tinggi, menghormati, mengenang jasa-jasa almarhum
semasa hidupnya dan memendam hal-hal yang kurang baik dan tidak perlu
diungkit-ungkit )
2) Tigang dinten yaitu tiga hari
meninggalnya Almarhum/ mah, Pitong Dinten yaitu tujuh hari meninggalnya Almarhum/
mah, Petang Puluh Dinten yaitu Empat Puluh hari meninggalnya Almarhum/ mah,
Nyatos Dinten yaitu seratus hari meninggalnya Almarhum/ mah, Mendhak yaitu
setahun dan Dua Tahun meninggalnya Almarhum/ mah, Nyewu yaitu Seribu hari
meninggalnya Almarhum/ mah, Kol (Kol kolan) yaitu peringatan setelah Seribu
hari dan peringatan ini bertepatan dengan hari dan bulan meninggalnya Almarhum/
mah dan semua acara sebagaimana tersebut diatas dilakukan dengan mengundang
tetangga dan kerabat masudnya untuk kirim doa/ mendoakan Almarhum/ ah agar
kehidupannya di akhirat selamat dan bahagia dan dilanjutkan dengan shodaqohan
yang bertujuan dengan shodaqoh semua hajat keluarga yang ditujukan kepada
Almarhum/ ah dapat terkabul.
Contoh simbolisasi dalam kematian adalah : Daun kelor / dadhap
srep yang menyertai pemandian mayit, kelor (Lungsur dosa-dosanya), dadhap srep
(menghadap dengan tenang), Kelapa Muda : mempunyai arti Toyo wening/ toyo suci
(air yang melambangkan keheningan dan kesucian) Payung melambangkan tanda belas
kasih cinta sanak keluarga terhadap orang yang baru saja meninggal, Kembang
Setaman bermakna penghormatan kepada jenazah dan untuk mengenang
kebaikan-kebaikan yang dilakukan selama hidupnya dan juga suatu upaya keluarga
untuk mendoakan agar arwahnya diterima Tuhan
c. Kesalah pahaman masyarakat
terhadap tradisi
Sebuah acara atau tindakan tradisi bagi sebagian masyarakat adalah
hukumnya wajib, sehingga apabila tidak dilakukan akan menimbulkan malapetaka
atau bencana, hal inilah yang harus kita luruskan kebenarannya sehingga
masyarakat nantinya tidak terbebani dengan adanya tradisi tersebut tetapi kita
tidak boleh melarangnya (kecuali yang melanggar norma-norma Agama) karena dalam
tradisi tersebut menyimpan berbagai makna-makna kebaikan
Perlu diwaspadai juga, seiring derasnya arus globalisasi dan
modernisasi, telah berkembang aliran-aliran Islam bahkan aliran tersebut
termasuk terbesar di Negara kita yang anti tradisi dan berupaya membabat habis
tradisi lokal serta menggantinya dengan tradisi sebagian bangsa Arab modern
dengan dalih purifikasi ajaran Islam serta kembali kepada ajaran Al-Qur’an dan
Sunnah. Namun sayang sekali, semangat dan obsesi kelompok tersebut dalam upaya
membabat habis tradisi lokal, bukanlah berangkat dari dalil-dalil Al-Qur’an,
Sunnah dan aqwal ulama yang otoritatif (mu’tabar), yang selama ini menjadi pedoman
mayoritas umat Islam Ahlussunnah Wal-Jama’ah diberbagai belahan dunia Islam.
Bahkan tidak jarang, semangat dan obsesi gerakan anti tradisi tersebut
bertentangan dengan dalil Al-Qur’an, Sunnah dan aqwal ulama yang otoritatif
menurut kalangan mereka sendiri
- Tradisi
budaya Jawa adalah berbagai pengetahuan dan adat kebiasaan yang secara
turun temurun dijalankan oleh masyarakat Jawa dan menjadi kebiasaan yang
bersifat rutin
- Bentuk
tradisi budaya saat ini Jika diamati secara detail terkesan sangat njlimet atau
rumit. Hal ini dikarenakan banyaknya perlambang yang dipakai di dalamnya. Kenyataan ini tidak dapat
dipungkiri, karena sampai saat ini masyarakat Jawa masih senang menggunakan
simbol atau perlambang dalam kehidupannya.
- Sebuah
acara atau tindakan tradisi bagi sebagian masyarakat adalah hukumnya
wajib, sehingga apabila tidak dilakukan akan menimbulkan malapetaka atau
bencana, hal inilah yang harus kita luruskan kebenarannyatetapi kita tidak
boleh melarangnya (kecuali yang
melanggar norma-norma Agama) karena dalam tradisi tersebut menyimpan
berbagai makna-makna kebaikan.
Komentar
Posting Komentar